Menyinggahi Hulu Amazon Sungai Amazon yang terkenal dengan kehidupan alamnya, mempunyai beberapa anak sungai dari beberapa negara, salah satunya adalah Sungai (Rio) Tambopata, yang hulunya di Peru dan Bolivia. Oleh EDY HENDRAS W Kehidupan alam dan hutan di hulu Amazon, sebenarnya tak jauh beda dengan hutan dataran rendah yang ada di Sumatera dan Kalimantan. Lembab, becek, berawa atau terdapat beberapa danau-danau kecil yang kaya akan kehidupan khas lahan basah. Namun karena pengemasan wisata alam ini cukup profesional, tak heran jika banyak wisatawan yang datang untuk menikmati kehidupan alam. Saya berkesempatan untuk mengikuti semua program berpetualang selama seminggu penuh, baik program siang maupun malam hari, di sela-sela acara pelatihan bagi Communicators dan Educators yang diikuti staf lapangan Conservation International dari berbagai negara. Penginapan unik Begitu tiba di Lima, ibu kota Peru dan menginap semalam, maka perjalanan menuju pedalaman pun dimulai. Dari Bandara International Lima, naik pesawat menuju Puerto Maldonado. Di atas negeri Peru ini terhampar pemandangan yang menakjubkan. Pegunungan yang menjulang tinggi, dan ada beberapa puncak bukit yang bersalju, satu sama lain bersambung. Celah-celah bukit yang terjal sesekali terlihat perkampungan di antara lembah yang terjal. Sejam kemudian, tiba-tiba pesawat menukik, dan memutar dengan perubahan ketinggian yang sangat terasa dan mendadak. Kemudian memutar menikung di antara lembah-lembah, dan mendarat di sebuah kota kecil Cuzso. Kota ini kaya akan peninggalan kebudayaan Indian kuno, dan terkenal di daerah Manchu Pichu. Lima belas menit kemudian perjalanan dilanjutkan ke Puerto Maldonado, lebih kurang terbang 30 menit dan mendarat di sebuah bandara kecil di tengah ladang dan hutan. Pemandangan yang saya lihat adalah orang-orang antre untuk diimunisasi, terutama penyakit kuning dan malaria. Wisatawan domestik yang bukan penduduk Puerto Maldonado termasuk di antara mereka. Wisatawan asing biasanya sudah diberi tahu untuk disuntik imuninasi sebelum datang ke daerah ini. Di halaman parkir sudah menunggu beberapa truk yang dimodifikasi menjadi kendaraan angkut wisatawan, seperi diberi gambar kehidupan hutan, atau atap mobil tersebut dihias dengan atap rumbia, biasanya dibuat dari daun palem, yang cukup menarik. Pemandu memperkenalkan diri dan menjelaskan perjalanan menuju hutan dengan menggunakan dua bahasa Spanyol dan Inggris. Sungguh mengesankan penanganan wisatwan ini. Lebih kurang 45 menit perjalanan menuju pelabuhan. Jalan berdebu yang belum diaspal dan hanya dengan pengerasan pasir dan batu ini mengingatkan jalan-jalan di pedalaman Kalimantan, berkelok-kelok, naik dan turun dengan jembatan sederhana. Yang melewati jalan ini tak hanya truk wisata, tetapi juga taksi-taksi carteran bagi wisatawan. Mulailah perjalanan dengan perahu panjang di Rio (Sungai) Tambopata. Sungai ini airnya keruh, di kanan kiri terlihat tanah-tanah yang longsor atau terkikis oleh banjir. Burung berterbangan, terutama sejenis betet atau macaw dan parkit. Kura-kura yang berjemur di batang yang mati beberapa kali tampak di pinggir sungai. Satu jam kemudian sampailah kami di penginapan Tambopata Lodge yang didesain sederhana, namun menarik. Rumah besar tanpa sekat dari belahan bambu. Setiap kamar tanpa pintu hanya penutup kain tebal (gorden), dan uniknya lagi setiap kamar tanpa penyekat dinding dan terbuka, hanya kamar mandi yang tertutup. Penerangan dengan menggunakan lampu minyak dan lilin, itu pun terbatas sampai jam sembilan malam, kemudian petugas keliling mematikannya. Hanya ada generator kecil untuk beberapa komputer dan bagi pengunjung yang ingin mengisi baterai. Berkunjung ke Pohon Kapuk Pohon Kapuk (Ceiba petandra) bagi orang Indonesia mungkin tak begitu aneh. Namun lain bagi orang dari belahan bumi yang tidak memiliki tumbuhan ini, misalnya orang-orang Eropa atau Amerika bagian utara. Pemandu kami Rudolfo yang sudah dua tahun lebih berprofesi penjadi pemandu wisata alam. Setiap jengkal tak ada yang terlewatkan diceritakannya. Mulai dari serangga, tumbuhan obat, burung, monyet, semut pembawa potongan daun, sampai palam berjalan (Walking-palm). Tumbuhan satu ini until, memiliki akar tinggi-tinggi, semakin tinggi semakin banyak akar napas (seperti kaki) karena hidup pada tanah yang berair atau kurang nitrogen. Kami tiba di pohon kapuk raksasa, mungkin 20-an orang kalau bergandengan baru tergapai. Rudalfo tak mempunyai ceritera berapa tahun umur pohon kapuk ini, dia hanya mengatakan, mungkin sudah 200 - 300 tahun umurnya. Mungkin saja, karena akar banernya pun sudah sedemikian besar dan tinggi, dan konon kapuk-kapuk yang ada di Indonesia, nenek moyangnya dari pohon kapuk liar yang ada di hutan-hutan Amerika Latin ini. Sebelum tidur, dan seusai makan malam, pemandu memberikan penjelasan tentang kegiatan esok harinya, bagi yang tertarik menuliskan kolom yang tersedia dan menyebutkan nomor kamarnya. Penginapan ini memiliki beberapa blok enam kamar, dan lodge ini mampu menampung 80-an wisatawan semalam. Pukul 3.30 pagi petugas keliling menyalakan lampu penerangan setiap tamu yang menu lis dan mendaftar pada papan yang tersedia. Tak semua kamar dinyalakan, hanya kamar tertentu yang mengikuti program ini. Lima belas menit kemudian pemandu yang bertanggung jawab keliling, membangun peserta. Setelah minum teh celup manis, karena di dapur tersedia beberapa minuman instan, seperti teh, atau sejenis minuman tradisional lainnya yang dikemas seperti teh celup, kami langsung berangkat. Tak banyak yang ikut, hanya saya dan peserta dari Marisa, Educator, Brasil, serta pemandu, Caeras. Malam yang gelap, lembab dan sesekali Caerar menjelaskan beberapa serangga malam dan primata (monyet) yang hidupnya malam hari. Perjalanan hanya 20 menit, dan kami sampai di menara. Bayangan saya menara yang ada di tempat-tempat seperti ini dibangun dari kayu atau besi berbentuk kerucut, lebar di bawah dan mengecil di atas. Di kawasan pelestarian hutan ini berbeda. Dari bawah ke atas sama, lebar sekitar 2 meter dan panjang 2,5 meter menjulang ke atas setinggi 37 meter, dan diperkuat dengan ikatan tali baja sebanyak 16, persis seperti menara pemancar radio. Untunglah kami hanya bertiga, tak terbayangkan kalau diikuti 9 peserta yang merupakan batas maksimum, sehingga goyangan tak begitu terasa. Kami terasa di atas pepohonan, pemandangan alam lepas terlihat. Angin pagi yang sejuk bertiup, terasa dingin. Suara serangga dan burung-burung mulai terdengar dan sedikit demi sedikit di ufuk timur mulai terang. Tiba-tiba kabut datang dan hutan tertutup kabun. Hanya sebentar dan terang kembali. Pukul 06.00 pagi matahari terbit dan pemandangan di atas hutan mulai tampak jelas. Burung Macaw khas hutan di Amerika Latin ini mulai beterbangan, parkit dan beberapa jenis monyet mulai melakukan aktivitas dengan menyuarakan suara yang gaduh, menambah suasana hutan terasa indah dan damai. Surga penggemar burung Seperti hari sebelumnya, saya harus siap bangun jam 04.00 pagi, kemudian makan pagi. Karena perjalanan ini akan dilakukan hingga siang hari. Aldo kali ini berperan sebagai pemandu khusus untuk menjelajah danau ditemani Chino yang juga berprofesi sebagai bar tender di restoran penginapan Tambopata Lodge. Pemandu-pemandu yang berjumlah 12 orang ini mempunyai peranan masing-masing, walaupun mereka juga mampu memandu di mana saja sesuai dengan paket yang ditawarkan. Suasana pagi yang tenang, sesekali suara burung mulai terdengar dan yang membuat berisik hutan di hulu Amazon ini adalah suara monyet hitam atau lebih dikenal dengan ”Howler Monkeys”. Suaranya gaduh seperti suara pesawat jet yang sahut-menyahut. Apalagi dalam hutan menggema menambah suasa hutan semakin seram. Kabut di sungai masih menyelimuti, udara dingin menyengat, karena perahu yang dengan mesin tempel 125 pk ini cukup kencang. Lebih kurang 30 menit, perahu menepi, satu per satu pengunjung turun dari perahu. Dalam rombongan kami ada tiga orang pengamat burung dari Jerman, umumnya sudah lanjut usia, dan dipandu oleh pemandu perempuan yang rupawan, Ursula, dan fasih berbahasa Jerman dan paham tentang hutan dan isinya. Aldo sebagai pengayuh perahu dan bergantian dengan Chino serta Ursula. Perahu yang dapat memuat antara 10-15 orang ini, didesain sedemikian apik. Dua perahu digandeng dan diberi dak yang luas, sehingga wisatawan dapat leluasa berdiri untuk mengamati burung. Semua membawa binoculer (teropong). Aldo dengan cekatan memasang monokuler dan memberi tahu kepada kami semua untuk melihat burung primitif yang masih hidup. Perlahan Chino mengayuh perahu, sesekali pengunjung sibuk mengarahkan pandangannya ke obyek yang ditemukan. Macaw, elang, berbagai burung air, burung colibri yang mungil, raja udang, dan masih banyak lagi. Mata hari mulai naik, danau mulai terang dan pemandangan semakin menawan. Tiba-tiba Chino memberikan peringatan untuk tenang, jangan bergerak, dan semua wisatawan dimohon duduk. Sambil menunjuk kepada kami, lebih kurang 50-an meter ada sekelompok otter, sejenis berang-berang raksasa sedang berenang dan menangkap ikan. Semua meneropong. Saya menggunakan monokuler melihat sekelompok otter sebanyak enam ekor berenang, muncul dan tenggelam. Di ujung atau di tepi terlihat seekor otter santai di batang pohon yang mati sambil menikmati ikan hasil buruannya. Satwa ini sudah terancam punah, sehingga berbagai instansi berusaha untuk melindungi, seperti beberapa kebun binatang menyeponsori untuk melakukan penelitian dan perlindungan. Sebagai seorang pemandu alam dan interpreter, pemandu-pemandu ini sangat menguasai isi hutan dengan berbagai isinya. Mulai dari hutan primer, sekunder sampai ke semut yang sangat berbahaya karena berbisa.. Mengintip satwa Paket program terakhir yang saya ikuti adalah jalan malam dan mengintip satwa. Berjalan di malam hari pada hutan tropik sangat mengasyikkan dan mempunyai pengalaman tersendiri. Walaupun saya sering di hutan, rasanya belum lengkap kalau tidak mengikuti program ini. Malam gelap gulita, kami ditemani Aldo. Tak banyak yang ikut, karena takut untuk menjelajah hutan pada malam hari. Karena sebelumnya Aldo menceriterakan akan bertemu berbagai satwa, mulai dari kodok, serangga, ular, mamalia lain, dan yang menakutkan dan kalau beruntung berjumpa dengan macan tutulnya Amerika Latin. Kami mulai berjalan perlahan, sesekali menyenter primata malam, serangga yang bercahaya, atau jamur yang menyala di malam hari karena proses pembusukan dengan proses bioluminisensi, yang menyala berwarna hijau seperti cahaya kunang-kunang. Subuh, kami berangkat lagi dan diam di tempat mengintip satwa yang sudah dibuat sedemikian rupa sehingga sangat mudah untuk mengintip aktivitas satwa. Pondok ini dibuat di tepian sungai, di seberang sana terdapat tebih dengan tanah atau lempung berwarna putih kemerahan. Satwa yang datang bukan untuk minum, tetapi memakan tanah yang mengandung mineral. Berbagai jenis burung, mamalia seperti babi, rusa, monyet. Namun ada teori lain yang mengatakan, bahwa satwa-satwa ini memakan tanah untuk mengambil bakteri yang ada guna membantu dalam pencernaan. Hhm… sebuah pengalaman yang mengasyikkan. Penulis adalah wisatawan dan bekerja untuk Conservation International Indonesia
|
|
0 komentar:
Posting Komentar